Njoto dan tragedi G30S
(Diambil dari edisi khusus TEMPO 5-11 Oktober 2009)
Pedagang Batik Pembela Republik
DALAM bayangan anak-anaknya, pria itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit
gelap, dan kerap memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku,
dan gemar bermain bola. Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal
Solo keturunan bangsawan.
Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa
Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto
lahir pada 1927, dua tahun lebih tua daripada Windarti dan 18 tahun
lebih tua daripada Iramani.
Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun
Masalmah santun, dengan tutur kata halus. ”Tapi Bapak tak pernah main
pukul, kata Windarti.
Setelah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso.
Ia mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu
Yosobusono, artinya membuat pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini
tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon.
Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan.
Sosro menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan
rapat pejuang, termasuk yang pernah dibuang ke Digul. ”Para om Digul itu
suka ngobrol dan nengok saya serta Njoto,” ujar Windarti.
Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan
toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita-cita
kepada Njoto dan Windarti. Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto
bermain bola. Sosro dan Njoto sama-sama hobi bermain bola. ”Ayah itu
senangnya bisnis,” kata Iramani. ”Bisnis adalah bisnis, keluarga adalah
keluarga.”
Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya
menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah
mengarahkan anaknya membaca buku komunis. ”Ayah saya pembela Republik,”
kata Iramani.
Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap
pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak-anak
sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi
pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.
Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti
tiba-tiba diberi tahu bahwa ayahnya ditangkap Belanda. Tapi tak ada
penjelasan mengenai sebab-musababnya. Windarti kemudian mencari
pamannya, Maskan, yang kemudian mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta.
Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat,
wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.
Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru mendapat penjelasan lebih
lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus
kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.
Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, tapi kemudian dipindah ke
penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro,
diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan
hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa
mendapat udara segar.
Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan
orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo karena seorang penumpang
memecahkan kaca kecil di gerbong. Tapi kondisinya lemah. Ia dipulangkan
ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya
Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak-anaknya. ”Kami
tahu satu bulan setelah Bapak meninggal,” kata Windarti.
Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya
meninggal. Tapi begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan
menumpahkan air mata. ”Njoto nangis macam anak kecil,” ujar Windarti.
Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso.
Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat
yang sama.
* * *